Introduction
Negara Indonesia adalah bagian dari negara asia yang dilewati garis katulistiwa berada diantra benua asia dan australia, diapit ole samudra paasifik dan benua hindi.
Negara Indonesia adalah bagian dari negara asia yang dilewati garis katulistiwa berada diantra benua asia dan australia, diapit ole samudra paasifik dan benua hindi.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau, dengan kurang lebih 700 bahasa daerah, 300 suku etnik, dengan agama resmi nya ialah islam 87,2%, kristen 9,9%, protestan -7,0%, katolik roma 2,9%, hindu 1,7%, budha 0,7%, konusianisme dan lainnya 0,2%.
Dari keberagan diatas tentu banyak sekali kearifan tradisional yang mawarnai Indonesia dengan keberagaman budaya dan keunikan yang penulis rangku dalam 5 kearifan tradisional
A. Kawin Cai Tradisi Warisan Kerajaan Kuningan
Upacara adat Kawin Cai merupakan tradisi masyarakat untuk memohon air/hujan untuk mengairi lahan pertaniannya serta kebutuhan hidup lainnya. Upacara ini dilaksanakan apabila terjadi kemarau panjang atau sangat sulit untuk mendapatkan air.
Upacara adat Kawin Cai merupakan tradisi masyarakat untuk memohon air/hujan untuk mengairi lahan pertaniannya serta kebutuhan hidup lainnya. Upacara ini dilaksanakan apabila terjadi kemarau panjang atau sangat sulit untuk mendapatkan air.
Pada awalnya upacara adat Kawin Cai, dilaksanakan setiap tanggal 30 rowah di sistem penanggalan Islam, namun ada juga yang mengatakan di bulan rajab. Namun seiring dengan berjalannya waktu, upacara ini menjadi tidak memiliki ketetapan tanggal tetapi mengikuti datangnya musim hujan. Pelaksanaan upacara ini akhirnya ditetapkan untuk dilakukan pada hari jumat kliwon menjelang musim penghujan.
Pada awalnya upacara ini dilaksanakan oleh 9 (sembilan) desa pemanfaat air dari Balong Dalem. Kesembilan desa yang terlibat adalah Babakan Mulya, Maniskidul, Jalaksana, Sadamantra, Padangenan, Cimiru, Nangerang, Garatengah, dan Japara. Namun seiring dengan perubahan yang terjadi, 3 (tiga) desa tidak lagi melibatkan diri yaitu Desa Nangerang, Garatengah dan Japara; itu pun yang terlibat secara aktif hanya desa Babakan Mulya tempat mataair Balong Dalem dan desa Maniskidul tempat mataair Sumur Tujuh.
Inti dari pelaksanaan upacara Kawin Cai adalah mencampurkan air dari 2 mata air yaitu dari mata air Balong Dalam Tirta Yatra dan mata air Cikembulan (Cibulan) dengan mengharap barokah dari dua sumber mata air tersebut.
Dalam acara Kawin Cai terdapat 3 (tiga) acara pokok, yaitu pertama adalah prosesi pengambilan air dari Balong Dalem yang dalam hal ini air tersebut dianggap sebagai pengantin laki-laki; kedua adalah prosesi pengambilan air dari Sumur Tujuh yang dalam hal ini air tersebut dianggap sebagai pengantin perempuan; dan ketiga adalah prosesi kawin cai (mencampurkan air yang diambil dari Balong Dalem dan air yang diambil dari SumurTujuh).
Prosesi Kawin Cai dilaksanakan sebagaimana prosesi perkawinan manusia. Campuran air tersebut kemudian dituangkan ke mataair Tirtayatra. Acara selanjutnya adalah pengambilan air dari mataair Tirtayatra untuk memandikan petugas-petugas desa yang terkait dengan masalah air dan irigasi.
Setelah selesai upacara, secara bergantian masyarakat Desa Babakan Mulya dan Desa Manis Kidul, juga masyarakat enam desa lainnya, secara bergantian mengambil air dengan lodong atau bekong untuk dibawa pulang sebagai benih air dan dimanfaatkan untuk menyiram lahan pertanian.
Pelaksanaan upacara kawin cai selain dihadiri dan diikuti oleh pamong desa, tokoh masyarakat dan masyarakat desa setempat, juga diikuti oleh pamong desa dan masyarakat delapan desa tetangga yang lahan pertaniannya memanfaatkan air yang berasal dari sumber mata air Telaga Balong Dalem Tirta Yatra.
Makna yang terkandung dalam upacara Kawin Cai adalah bahwa upacara Kawin Cai menyiratkan tingginya kesadaran masyarakat bahwa hidup manusia sangat tergantung kepada berkesinambungannya ketersediaan air. Dan, berkat adanya upacara Kawin Cai tersebut,secara tidak langsung satwa yang memiliki keunikan, disakralkan dan/atau “halamannya” dijadikan tempat upacara adat, yaitu Ikan Siragas, Ikan Dewa, dan Kura-kura Kencana, sampai saat ini tetap dalam keadaan baik dan tidak terganggu.
Upacara adat Kawin Cai merupakan tradisi masyarakat Desa Babakan Mulya, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan untuk memohon air/hujan untuk mengairi lahan pertaniannya serta kebutuhan hidup lainnya. Upacara ini dilaksanakan apabila terjadi kemarau panjang atau sangat sulit untuk mendapatkan air antara bulan September dengan mengambil lokasi searah.
Inti dari Kawin Cai adalah mencampurkan air dari 2 mata air yaitu dari mata air Bolang Dalam Tirta Yatra dan mata air Cikembulan (Cibulan) dengan mengharap barokah dari dua sumber amata air tersebut. intinya di sumber mata air Telaga Balong Tirta Yatra pada malam Jumat Kliwon.
Pelaksanaan upacara kawin cai selain dihadiri dan diikuti oleh pamong desa, tokoh masyarakat dan masyarakat desa setempat, juga diikuti oleh pamong desa dan masyarakat delapan desa tetangga yang lahan pertaniannya memanfaatkan air yang berasal dari sumber mata air Telaga Balong Dalem Tirta Yatra.
berdoa, sesepuh desa mencampurkan air dari mata air Balong Dalem Tirta Yatra dengan air dari mata air Cikembulan (Cibulan) untuk mengambil barokah dari 2 mata air tersebut. Secara bergantian masyarakat Desa Babakan Mulya dan Desa Manis Kidul, juga masyarakat enam desa lainnya, secara bergantian mengambil air dengan lodong atau bekong untuk dibawa pulang sebagai benih air dan dimanfaatkan untuk menyiram lahan pertanian.
B. Suku Bugis Serta Tradisi Mapelette Bola
Saat seseorang akan pindah rumah, biasaya mereka akan disibukkan dengan mengemasi barang mereka untuk memindahkannya ke rumah yang baru dari rumah lama. Tapi kegiatan itu tidak berlaku bagi masyarakat suku Bugis.
Saat seseorang akan pindah rumah, biasaya mereka akan disibukkan dengan mengemasi barang mereka untuk memindahkannya ke rumah yang baru dari rumah lama. Tapi kegiatan itu tidak berlaku bagi masyarakat suku Bugis.
Bagi mereka pindah rumah memiliki artian yang sesungguhnya yakni memindahkan rumah dengan benar-benar memindahkan rumah yang sebenarnya. Tradisi memidahkan rumah ini mereka sebut ‘Mappalette Bola’.
Biasanya tradisi mappalette bola dilakukan jika ada salah satu masyarakat yang ingin pindah dan menjual rumahnya tapi tidak dengan tanahnya.
Rumah yang dipindahkan pun buka rumah sembaragan, yakni rumah adat panggung yang terbuat dari kayu ciri khas masyarakat Sulawesi.
Kerangka rumah biasanya menggunakan tiang dan balok yang dirangkai tanpa menggunakan paku. Serta dengan bentuk bagunan persegi empat yang dibuat memanjang ke arah belakang.
Sementara tiang-tiang rumah ada yang ditancapkan ke dalam tanah dan yang lainnya diletakkan di atas batu dengan keseimbangan.
Sebelum rumah tersebut dipindahkan perabot rumah tangga, seperti lemari, barang pecah belah yang ada di dalam rumah tersebut harus dikeluarkan dari dalam rumah untuk menghindari kerusakan. Kemudian tiang-tiang yang ada di bawah rumah panggung tersebut dipasangi bambu yang berguna untuk mengangkat rumah.
Melibatkan hampir puluhan bahkan ratusan warga kampung ternyata ada tekih pemindahan rumah. Pertama jika lokasi yang baru tidak jauh dari tempat semula, rumah hanya akan didorong setelah bagian bawah rumah dipasangi roda/ban.
Namun jika lokasi yang baru ternyata jauh mereka akan bergotong royong mengangkat rumah bersama. Dan berutungnya saya dapat menyaksikan serta ikut terlibat langsug dalam tradisi ‘Mappalette Bola’ ini.
Sebelum prosesi dimulai doa juga dipanjatkan bersama agar berjalan lancar dan sesuai harapan. Prosesi ini hanya dilakukan kaum laki-laki, sedangkan para ibu-ibu bertugas menyiapkan makanan.
Ada dua jenis makanan yang disajikan untuk para laki-laki yang melakukan pemindahan rumah tersebut, yakni sebelum dan sesudah pindaha. Makanan yang disajikan sebelum proses pindahan adalah kue-kue tradisional khas Suku Bugis seperti bandang, baronggo, suwella bersama dengan teh atau kopi.
Dan makanan kedua disajikan setelah proses pemindahan rumah selesai berupa masakan sup ‘saudara’ yang merupakan salah satu makanan khas Sulawesi Selatan. Selain itu, disajikan juga berbagai masakan dari ikan bandeng yang dibumbui saus kacang.
Proses pengangkatan dan pemindahan rumah umumnya dipimpin oleh seorang ketua adat untuk memberi aba-aba dan mengarahkan warga. Sang ketua adat akan meneriakan semacam “mantra” agar para warga kuat memidahka rumah hingga sampai ke lokasi yang baru.
Ketua adat pula yang akan memberikan aba-aba kapan harus mengangkat, berjalan, kecepatan langkah dan sebagainya.
Setelah setahun menempati lokasi rumah baru, suku Bugis akan melakukan upacara Maccera Bola yakni kegiatan untuk menolak bala dengan cara menyapukan darah ayam pada tiang-tiang rumah.
C. Aceh dan Tradisi Meugang
Meugang adalah tradisi memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga, kerabat dan yatim piatu oleh masyarakat Aceh.
Meugang adalah tradisi memasak daging dan menikmatinya bersama keluarga, kerabat dan yatim piatu oleh masyarakat Aceh.
Meugang atau Makmeugang adalah tradisi menyembelih kurban berupa kambing atau sapi dan dilaksanakan setahun tiga kali, yakni Ramadhan, Idul Adha, dan Idul Fitri, sapi dan kambing yang disembelih berjumlah ratusan, selain kambing dan sapi, masyarakat Aceh juga menyembelih Ayam dan Bebek.
Tradisi Meugang di desa biasanya berlangsung satu hari sebelum bulan Ramadhan atau hari raya, sedangkan di kota berlangsung dua hari sebelum Ramdhan atau hari raya, biasanya masyarakat memasak daging di rumah, setelah itu membawanya ke mesjid untuk makan bersama tetangga dan warga yang lain.
Tradisi Meugang sudah dilaksanakn sejak ratusan tahun yang lalu di Aceh, Meugang dimulai sejak masa kerajaan Aceh, kala itu (1607-1636 Masehi), Sultan Iskandar Muda memotong hewan dalam jumlah banyak dan dagingnya dibagikan secara gratis kepada seluruh rakyatnya.
Hal ini dilakukan sebagai rasa syukur atas kemakmuran rakyatnya dan rasa terima kasih kepada rakyatnya, setelah Kerajaan Aceh ditaklukan oleh Belanda pada tahun 1873, tradisi ini tidak lagi dilaksanakan oleh raja, namun, karena hal ini telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Aceh, maka Meugang tetap dilaksanakan hingga saat ini dalam kondisi apapun.
Tradisi Meugang juga dimanfaatkan oleh pahalawan Aceh dalam bergerilya, yakni daging sapi dan kambing diawetkan untuk perbekalan.
Setiap perayaan Meugang, seluruh keluarga atau rumah tangga memasak daging dan disantap oleh seisi rumah.
Pantang jika keluarga tidak memasak daging pada hari Meugang, Meugang memiliki nilai religius karena dilakukan pada hari-hari suci umat Islam, masyarakat Aceh percaya bahwa nafkah yang dicari selama 11 bulan wajib disyukuri dalam bentuk tradisi Meugang.
D. Upacara Adat Pasuo Masyarakat Buton
Upacara ini dilaksanakan ketika seorang perempuan telah beralih statusnya dari labuabua atau gadis remaja dalam Bahasa Buton menuju kalambe atau gadis dewasa.
Upacara ini dilaksanakan ketika seorang perempuan telah beralih statusnya dari labuabua atau gadis remaja dalam Bahasa Buton menuju kalambe atau gadis dewasa.
Posuo diselenggarakan untuk menguji kesucian seorang gadis, tradisi ini berlangsung selama delapan hari delapan malam di dalam suo atau ruangan khusus.
Posuo terdiri dari tiga jenis, yakni posuo wolio, posuo johoro dan posuo arabu.
Posuo wolio merupakan posuo yang berasal dari masyarakat Wolio atau Buton sendiri, Posuo Johoro berasal dari Johor-Melayu dan adapun posuo arabu merupakan adaptasi dari posuo Wolio dan mengandung nilai-nilai Islami.
Saat seorang gadis melaksanakan posuo, ia akan diisolasi dan dijauhi dari berbagai pengaruh dunia luar. Sang gadis hanya dapat berhubungan dengan bhisa. Bhisa merupakan orang yang ditujuk langsung oleh pemangku adat untuk memberikan berbagai wejangan khusus selama masa posuo dilaksanakan.
Pada pelaksanaannya, akan ada seseorang yang akan menabuh gendang dan gong atau juga disebut pawang gendang. Kegiatan itu memiliki arti bahwa jika gendangnya pecah saat ditabuh maka di antara gadis yang melaksanakan posuo ada yang sudah pernah berhubungan badan dengan lawan jenis. Hasilnya tidak diberitahukan ke publik, melainkan hanya akan diketahui oleh pihak keluarga dan pawang gendang.
E. Tradisi Bakar Batu Papua
Tradisi bakar batu merupakan salah satu tradisi penting di Papua yang berupa ritual memasak bersama-sama warga satu kampung yang bertujuan untuk bersyukur, bersilaturahim (mengumpulkan sanak saudara dan kerabat, menyambut kebahagiaan (kelahiran, perkawinan adat, penobatan kepala suku), atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang. Tradisi Bakar Batu umumnya dilakukan oleh suku pedalaman/pegunungan, seperti di Lembah Baliem, Paniai, Nabire, Pegunungan Tengah, Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Dekai, Yahukimo dan lain-lain.
Disebut Bakar Batu karena benar-benar batu dibakar hingga panas membara, kemudian ditumpuk di atas makanan yang akan dimasak. Namun di masing-masing tempat/suku, disebut dengan berbagai nama, misalnya Gapiia (Paniai), Kit Oba Isogoa (Wamena), atau Barapen (Jayawijaya).
Ritualnya sebagai berikut:
batu ditumpuk di atas perapian dan dibakar sampai kayu bakar habis terbakar dan batu menjadi panas (kadang sampai merah membara.bersamaan dengan itu, warga yg lain menggali lubang yang cukup dalambatu panas tadi dimasukkan ke dasar lubang yg sudah diberi alas daun pisang dan alang-alangdi atas batu panas itu ditumpuklah daun pisang, dan di atasnya diletakkan daging babi yg sudah diiris-irisdi atas daging babi ditutup daun pisang, kemudian di atasnya diletakkan batu panas lagi dan ditutup daundi atas daun, ditaruh ubi jalar (batatas), singkong (hipere), dan sayuran lainya dan ditutup daun lagidi atas daun paling atas ditumpuk lagi batu panas dan terakhir ditutup daun pisang dan alang-alang.
Babi yang akan dimasak tidak langsung disembelih, tapi dipanah terlebih dahulu. Bila babi langsung mati, maka pertanda acara akan sukses, tapi bila tidak langsung mati, maka pertanda acara tidak bakalan sukses. Setelah matang, biasanya setelah dimasak selama 1 jam, semua anggota suku berkumpul dan membagi makanan untuk dimakan bersama di lapangan tengah kampung, sehingga bisa mengangkat solidaritas dan kebersamaan rakyat Papua.
Hingga saat ini Tradisi Bakar Batu masih terus dilakukan dan berkembang juga untuk digunakan menyambut tamu2 penting yang berkunjung, seperti bupati, gubernur, Presiden dan tamu penting lainnya.
Di sebagian masyarakat pedalaman Papua yg beragama Islam atau saat menyambut tamu muslim, daging babi bisa diganti dengan daging ayam atau sapi atau kambing atau bisa pula dimasak secara terpisah dengan babi.
Hal seperti ini contohnya dipraktikkan oleh masyarakat adat Walesi di Kabupaten Jayawijaya untuk menyambut Bulan Ramadhan.
Conclusion
Sangat banyak keanegaragaman tradisi diindonesia, itu baru hanya lima dari 5 suku budaya di Indonesia, local wisdom ini harus kitablestarikan karena ini semua akan menjadi ciri khas bangsa dan harha negeri bangsa untuk mempertahankan budaya dan sejarah lokal.
Sangat banyak keanegaragaman tradisi diindonesia, itu baru hanya lima dari 5 suku budaya di Indonesia, local wisdom ini harus kitablestarikan karena ini semua akan menjadi ciri khas bangsa dan harha negeri bangsa untuk mempertahankan budaya dan sejarah lokal.
Referensi
Wikipedia.org
Indonesia.go.id
Kemendikbud.co.id
Wikipedia.org
Indonesia.go.id
Kemendikbud.co.id
****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar